Powered By Blogger

WELCOME IN MYBLOG,SETA WIRIAWAN

SELAMAT DATANG

Jumat, 28 Desember 2007

Banjir bahorok

PENYEBAB TERJADINYA BANJIR BANDANG DI SUNGAI BOHOROK PADA TANGGAL 2 NOPEMBER 2003(Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara)

Berdasarkan Hasil Survei dan Temuan Lapangan Unit Manajemen Leuser sampai saat ini
Kawasan yang dilanda banjir bandang Bohorok terdiridari empat kawasan:
Kawasan yang mengalami tanah longsor berat.
Areal di atas kawasan tanah longsor.
Areal yang mengalami Tanah Longsor ringan.
Kawasan di sekitar Bukit Lawang dipenuhi dengan puing kayu. Kawasan ini dijelaskan satu persatu pada bagian 1-4 di bawah ini dan ditandai pada peta terlampir. Kemungkinan penyebab banjir diuratakan secara garis besar di bagian 5 disertai beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan kejadian tersebut.
1. Kawasan yang mengalami tanah longsor berat
Lokasi: 9-20 km di sebelah barat desa Bukit Lawang, di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Catatan: Luas areal TNGL secara keseluruhan kurang dari sepertiga Kawasan Ekosistem Leuser.
Luas areal: diperkirakan sekitar 5.385 hektar.
Ciri-ciri fisik: lereng yang curam dengan kemiringan > 60% dan ketinggian 500 m sampai lebih dari 1,250 m di atas permukaan laut (BPD Land System: Precipitous oriented metamorphic mountain ridge).
Areal tanah longsor: terjadi pada banyak lokasi (antara 300-700) masing-masing 0,25-2,0 hektar (lebar tanah longsor 20-200 m; tinggi pada lereng gunung 50-500 m).
Penebangan liar: dari udara tidak terlihat tanda-tanda penebangan liar (illegal logging); tidak ditemui jalan atau jejak yang terkait dengan illegal logging; tidak terlihat tanda-tanda intervensi manusia; semua kayu gelondongan yang masih tergeletak di lereng gunung memperlihatkan bahwa pepohonan tumbang akibat tanah longsor.
Tingkat (luas) kerusakan hutan: diperkirakan sekitar 40% kawasan hutan runtuh dan jatuh ke dalam sungai disebabkan oleh tanah longsor yang terjadi secara alami.
Volume kayu yang terjatuh ke dalam sungai di bawah: berdasarkan taksiran sementara lebih dari 3 juta meter kubik kayu (pohon, kayu gelondongan, akar, dan dahan berbagai ukuran).
Volume kayu gelondongan yang terjatuh tetapi masih berada di lereng atau di sepanjang pinggiran sungai: > 3-10 ribu meter kubik kayu gelondongan.
Jumlah bendungan yang terbentuk secara alamiah: mungkin banyak, dan semakin membesar menelusuri aliran sungai ke arah Pongo Resort.
2. Areal di atas kawasan tanah longsor
Lebih jauh ke arah barat dari areal tersebut di atas yaitu kawasan lereng yang termasuk dalam DAS Sungai Bohorok menuju punggung utama gunung (main ridge) dari arah selatan ke utara dengan ketinggian sekitar 2200 - 2800 m, yang memisahkan Langkat dari wilayah Aceh, tidak terlihat tanda-tanda kerusakan hutan.
Kawasan hutan di daerah ini terlihat jelas tidak pernah terusik oleh intervensi manusia. Ada indikasi bahwa kawasan ini pernah mengalami erosi secara alami dalam skala yang jauh lebih kecil, sekitar satu titik longsor setiap 0,5 - 1,0 km, dan terlihat bekas tanah longsor yang belum begitu lama terjadi, demikian juga halnya dengan vegetasi berwarna hijau muda tanpa adanya batang pohon yang menandakan bahwa areal lahan tersebut sedang melalui proses pemulihan kembali secara alami setelah mengalami longsor sebelumnya.
3. Areal yang mengalami Tanah Longsor ringan
Lokasi: 0-9 km di sebelah barat Pongo Resort (bangunan resmi yang paling jauh ke hulu, 1 km dari Bukit Lawang, arah ke atas dari kawasan rumah penginapan yang disapu banjir).
Luas areal: > 900 hektar.
Ciri-ciri fisik: lereng yang curam di sepanjang pinggiran sungai dengan ketinggian 50 m sampai lebih dari 500 m di atas permukaan laut (masih termasuk bagian dari BPD Land System dengan tingkat kemiringan rata-rata sebesar 60%).
Areal tanah longsor: jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang tersebut di atas (sekitar 60-100 lokasi dengan lebar tanah longsor 10-50 m; dan tinggi di tebing gunung 50-100 m).
Penebangan liar: tidak terlihat; juga tidak ditemukan areal hutan yang ditebang atau jalan yang terkait dengan kegiatan illegal logging.
Tingkat (luas) kerusakan hutan: ditaksir hanya 2-3% hutan yang runtuh ke dalam Sungai Bohorok disebabkan tanah longsor yang terjadi secara alami.
Volume kayu yang terjatuh ke dalam sungai di bawah: ditaksir tidak lebih 1% dari seluruh kayu yang ada di sungai berasal dari kawasan ini (mungkin hanya 25.000 - 100.000 meter kubik pohon, kayu gelondongan, akar, dan dahan berbagai ukuran).
Volume kayu gelondongan yang masih berada di lereng atau di sepanjang pinggiran sungai: ribuan meter kubik kayu (mungkin 2.000-5.000 m3).
Jumlah bendungan yang terbentuk secara alami: Paling tidak ada satu bendungan besar 3,5 km di sebelah barat Pongo Resort yang diduga terbangun secara alami dalam proses terjadinya banjir bandang tersebut.
4. Kawasan di sekitar Bukit Lawang dipenuhi dengan puing kayu
Gambar-gambar pada hari pertama setelah banjir memperlihatkan bahwa:
i. Tidak ada kayu gelondongan yang terbawa arus memiliki tanda (bekas) chain-saw.ii. Sebagian besar kayu tersebut memiliki akar atau pangkal batang (buttresses).iii. Sejumlah besar kayu gelondongan tersebut telah kehilangan kulit, bahkan hampir secara menyeluruh. iv. Sebagian besar puing-puing sampah (debris) yang terdampar di pinggir sungai mencakup berbagai bagian dari pohon kayu, termasuk diantaranya dahan berbagai ukuran, batu-batuan ukuran besar maupun kecil, dan lumpur. v. Di lokasi tidak terlihat adanya chain-saw untuk memotong kayu gelondongan dalam upaya mengangkat tubuh manusia korban banjir. vi. Tumpukan puing kayu yang terbentuk memiliki ciri-ciri seperti bendungan berdinding puing kayu sampai setinggi 3 m, terdiri dari tumpukan batang kayu dimana sela-sela antar batang kayu tersebut ditutupi rapat oleh puing kayu lainnya dari berbagai ukuran seperti dahan-dahan, akar pohon, batu-batuan besar dan kecil, daun-daunan serta lumpur. vii. Terlihat ada potongan kayu bangunan dalam jumlah kecil, tetapi tidak berarti sama sekali dibanding puing-puing kayu secara keseluruhan, diduga berasal dari bagian bangunan rumah yang runtuh dilanda banjir dan dibawa arus bersama kayu lainnya. viii. Diameter rata-rata kayu gelondongan yang terbawa arus adalah jauh lebih kecil dibanding diameter rata-rata pohon di kawasan hutan dataran rendah yang masih utuh pada ketinggian di bawah 500 m, dan konsisten dengan ukuran pohon yang tumbuh pada ketinggian antara 500 hingga 1.200 m di atas permukaan laut (diameter rata-rata pohon berkurang dengan bertambahnya ketinggian). ix. Jumlah kayu (yaitu akar pohon, batang dan dahan) yang bertebaran konsisten dengan luasnya kejadian tanah longsor di kawasan hulu. x. Areal kecil di sebelah utara (tidak jauh dari Pongo Resort) terlihat pada beberapa gambar seolah-olah telah mengalami erosi, sebenarnya terbuka karena pembukaan jalan dengan bulldozer, tetapi tidak terkait sama sekali dengan banjir ini. xi. Kawasan lebih jauh ke arah utara dari lokasi ini yang secara resmi termasuk dalam kategori HPT (Hutan Produksi Terbatas) tidak terkait secara langsung sebagai penyebab banjir, dan bahkan beberapa ratus meter ke arah hulu dari Pongo Resort, di sisi timur laut Sungai Bohorok, terdapat kawasan hutan yang masih utuh. xii. Air bah yang melanda Bukit Lawang seluruhnya datang menelusuri rute sungai dari pegunungan di belakang Pongo Resort, dan oleh karena itu kawasan mana saja yang berada lebih jauh ke hilir tidak dapat dihubungkan sebagai penyebab terjadinya banjir tersebut. xiii. Illegal logging yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional, tidak jauh dari Bukit Lawang (di sebelah barat daya Pongo Resort adalah bagian dari sub DAS yang lain) tidak terkait dengan DAS Bohorok yang mengalami banjir Bandang, tetapi airnya mengalir ke Sungai Bohorok, jauh ke sebelah selatan dari Bukit Lawang.
Gambar-gambar pada hari pertama setelah banjir memperlihatkan bahwa:
i. Tim-tim penolong memakai alat chain-saw.ii. Banyak kayu gelondongan besar baru saja terpotong oleh tim penolong untuk mengambil mayat korban yang ditemukan berdasarkan bau yang timbul dari proses pembusukan.
Masih terciumnya bau damar (resin) pada kayu yang belum dipotong mengkonfirmasikan bahwa kulitnya baru saja terkupas (yaitu pada saat banjir).
Komentar sementara orang yang menyatakan bahwa ada banyak kayu gelondongan yang telah diberi nomor mungkin berasal dari lokasi lain di dekat Bohorok, atau mungkin dari kayu gelondongan yang dipotong oleh Tim Penolong, tetapi hal ini tidak konsisten dengan gambar-gambar yang diambil pada hari pertama di sekitar lokasi musibah.
Komentar dari sementara pihak yang mengatakan tumpukan ratusan kayu gelondongan dalam keadaan bersih untuk mengkonfirmasikan bahwa kayu tersebut berasal dari illegal logging sepintas lalu dapat dipahami, tetapi hal ini tidak berdasarkan fakta. Kayu gelondongan ini sebenarnya berasal dari pohon-pohon yang utuh dan terjatuh ke jurang 14 - 18 km di kawasan hulu, dan dalam perjalanan dihanyutkan air sejauh itu secara bersama-sama menghantam tebaran batu-batu besar di dasar dan tebing sungai dan benturan antar sesama batang kayu sehingga diantaranya berpatahan atau terbelah dalam ukuran yang lebih kecil/pendek serta kulitnya untuk sebagian besar terkelupas total. Proses ini kurang lebih sama dengan meletakkan setumpukan dahan yang baru patah ke dalam mesin pengaduk semen yang berisikan batu-batu besar, kemudian membiarkan benda-benda tersebut berbenturan berjam-jam lamanya hingga hancur berkeping-keping.
Masyarakat lokal di sekitar Bukit Lawang telah menikmati manfaat kawasan konservasi yang telah terkenal di dunia internasional tersebut selama hampir 30 tahun lamanya, berdasarkan waktu berdirinya Pusat Rehabilitasi Orangutan (sekarang tempat melihat-lihat orangutan). Mereka dipercaya tidak dapat menikmati manfaat ini seandainya terdapat illegal logging dalam jumlah besar di kawasan hulu Pongo Resort.
Meluasnya illegal logging di TNGL, termasuk pada hampir semua daerah di pinggiran Taman Nasional ke arah utara dan selatan Bukit Lawang, kalaupun ada kaitannya, bagaimanapun bukan merupakan penyebab langsung banjir bandang Bohorok. Kawasan tersebut termasuk dalam bagian sistem daerah tangkapan air yang berbeda. Oleh karenanya, illegal logging di kawasan sekitar DAS Bohorok sebagaimana diperkirakan pemerhati lingkungan sebagai penyebab tidak langsung, mungkin saja demikian halnya karena perusakan hutan tersebut dapat mempengaruhi iklim regional, yang pada gilirannya barangkali ikut menyebabkan curah hujan yang tinggi di kawasan DAS Bohorok.
5. Kemungkinan alasan terjadinya banjir bandang secara alami
Erosi dapat terjadi secara alami saat hujan lebat pada musim penghujan di lereng yang curam dengan lapisan tanah yang rapuh pada areal pegunungan yang lebih tinggi dimana tanah mengalami tingkat kejenuhan air (saturasi). Bila curah hujan pada malam terjadi bencana mencapai 101 mm seperti yang dilaporkan oleh BMG Wilayah I, maka dari kawasan Pongo Resort (seluas 16.000 hektar) diperkirakan menerima kiriman air dari daerah tangkapan air Sei Bohorok sebanyak kurang lebih 10 juta meter kubik. Disamping curah hujan yang sangat lebat pada malam terjadinya banjir, juga ada kemungkinan pengaruh lain yang berasal dari tingginya curah hujan yang dicatat BMG paling tidak di bulan September (672 mm) dan Oktober (750 mm) dan pada dua malam pada tanggal 13 September: 120 mm, 17 September: 110 mm, dan 2 Nopember: 101 mm. Juga sedang dijajaki adanya pengaruh seismik yang terjadi beberapa minggu sebelumnya.
Erosi yang terjadi secara alami di lereng yang curam menumbangkan pohon. Pohon yang tumbang menimbulkan dampak domino, dimana pohon yang tumbang menumbangkan pohon lain di tempat yang lebih rendah, dan juga pohon di lokasi yang lebih rendah menarik hingga tumbang pohon dari tempat yang lebih tinggi karena liana atau keterkaitan akarnya satu sama lain. Hal ini menyebabkan runtuhnya secara alami bagian dari hutan di lereng yang curam tersebut, rata-rata seluas 0,25-2,0 hektar.
Kayu/vegetasi/batu/tanah yang runtuh ke dalam jurang yang curam menyumbat aliran sungai di bawah sehingga tercipta bendungan setiap kali terjadinya longsor yang besar. Air yang berasal dari curah hujan lebat beberapa malam sebelumnya tertahan di dalam bendungan hingga akhirnya bendungannya runtuh. Kayu yang terapung meluncur ke arah hilir sambil menabrak bendungan lain atau tikungan yang tajam sehingga tercipta bendungan yang lebih besar. Dalam kenyataannya diperkirakan terbentuk serangkaian bendungan yang semakin menuju ke arah hilir (ke arah Pongo Resort) semakin besar, seperti bola salju yang meluncur.
Bendungan terakhir yang runtuh karena tekanan air dalam jumlah besar menjelang Bukit Lawang diduga telah mengirim secara mendadak semburan air yang dahsyat dan deras ke arah desa di sekitar Bukit Lawang bersama batangan kayu bagai senjata misil perusak massal yang meluncur dengan kecepatan > 30 km/jam. Mungkin misil ini berisi beberapa ratus ribu meter kubik air.
Dengan demikian, banjir bandang yang membawa malapetaka di Bukit Lawang merupakan akibat langsung dari bencana alam - pecahnya bendungan yang penuh dengan kayu, yang terbentuk sebagai akibat dari tanah longsor karena hujan lebat di musim hujan. Ini berarti, tidak ada kaitannya secara langsung dengan illegal logging.
Disamping itu, meskipun ada rencana pembangunan bagian 'ALASKA' (trase Alas-Selat Malaka, dari Titi Pasir (Lawe Pakam) ke Bohorok) dari jaringan jalan Ladia Galaska melalui daerah ini, masih belum ada pembangunan jalan yang telah memasuki DAS Bohorok di Langkat.
Walaupun illegal logging tidak terkait secara langsung sebagai penyebab banjir bandang, bukan berarti tidak ada kemungkinan adanya kaitan secara tidak langsung yaitu melalui perubahan iklim lokal yang disebabkan oleh perambahan kawasan hutan di kawasan sekitarnya . Dengan demikian, merajalelanya kegiatan illegal logging di seluruh kawasan TNGL di Langkat, (di seberang daerah tangkapan air Bohorok , di Aceh Tenggara, dan di banyak lokasi lain di KEL), mungkin saja telah menimbulkan perubahan iklim lokal, sehingga meningkatkan kekeringan pada musim kering dan meningkatkan curah hujan disertai erosi dan tanah longsor di musim penghujan. Bila keterkaitan ini terbukti oleh penelitian lebih lanjut, maka hal ini dapat disimpulkan sebagai penyebab yang menentukan (ultimate cause) ketimbang mengatakan adanya penyebab langsung dan tidak langsung.
6. Rekomendasi
Kayu dalam jumlah besar masih berada di lereng dan pinggiran sungai, arah bagian hulu sungai dari Bukit Lawang, dan hal ini mengancam keselamatan manusia. Untuk mencegah terjadinya kembali malapetaka seperti ini, semua rumah dan bangunan lainnya yang berada di dekat sungai di kawasan Bukit Lawang sebaiknya dibangun kembali di kawasan lain yang lebih aman (di luar kawasan tersebut), dan di Bukit Lawang dibuat tanda peringatan bahaya banjir. Selain itu, kawasan dalam jarak tertentu pada kedua sisi sungai harus difungsikan sebagai kawasan lindung sesuai Keputusan Presiden No. 32 Thn 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Sistem lahan BPD yang terdapat di DAS Bohorok, dengan kemiringan lereng lebih dari 60% merupakan sistem lahan yang dominan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sistem lahan ini mencakup sekitar 39% dari luas KEL. Mengingat bahwa sistem lahan ini dan sistem lahan sejenisnya yang secara alami sangat peka terhadap longsor dan erosi yang rawan terhadap bencana alam, segala upaya perlu dilakukan untuk mencegah gangguan manusia pada sistem lahan ini. Proyek pembangunan prasarana, misalnya, tidak boleh dilaksanakan pada sistem lahan ini. Oleh sebab itu, rute proyek pembangunan jalan Ladia Galaska yang sedang dikerjakan melintasi Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh pada saat ini perlu direvisi supaya jalan tersebut tidak membelah sistem lahan yang rapuh tersebut.
Mengingat bahwa illegal logging telah merajalela di banyak tempat Kawasan Ekosistem Leuser dan sering menimbulkan bencana banjir seperti banjir bandang Bohorok yang melanda Bukit Lawang, Pemerintah perlu melakukan upaya maksimal untuk menghentikan kegiatan illegal logging di KEL. Pemerintah harus membubarkan sindikat-sindikat yang terlibat di dalam illegal logging termasuk pihak-pihak yang memberikan beking baik secara langsung maupun secara politis, serta menuntut pihak-pihak yang terlibat.
Penguasa Darurat Militer di Aceh telah mengambil langkah pertama yang merupakan kemajuan besar dan penting dalam upaya penghentian aktivitas illegal logging yang telah berlangsung selama lebih 20 tahun di Aceh, tetapi beberapa kegiatan illegal logging masih berlangsung sehingga perlu diciptakan cara yang efektif untuk membebaskan kawasan ini dari tindak yang melanggar hukum tersebut setelah berakhirnya masa darurat militer.

1 komentar:

Bencana alam mengatakan...

Bagaimana pandangan hidup yang baik?